‘Dia’




“The future depends on what  we do in the present”. Itu kata Mahatma Gandhi waktu dia masih hidup.  Kalau kata-katanya itu memang benar, lalu apa sebenarnya yang terjadi diantara kita? Bukankah kita sudah menghabiskan banyak waktu kita untuk melakukan segalanya dengan baik? Bukankah kita sudah mengusahakan hal-hal yang bisa kita usahakan untuk membuat masa depan kita secerah mungkin? Lalu kenapa hasilnya begini? Apakah Tuhan memberi pengecualian pada orang-orang seperti kita?
***

Dua tahun yang lalu…
            “ Hari ini gue ke tempat itu lagi,” kataku pada Ditsa, sahabatku. Sore itu, saat malam hampir datang, kami duduk-duduk di atas batu yang sama, seperti biasa.
            “Buat apa sih Sher, elo pergi ke galeri hampir bangkrut itu tiap hari?” sahut Ditsa dengan nada setengah jengkel. Dia sudah melarangku pergi ke galeri itu ribuan kali. Dan ribuan kali pula aku membuat dia kecewa. Aku hanya menjawab Ditsa dengan sebuah senyuman kecut. Senyuman yang mungkin tidak sempat ditangkap oleh mata Ditsa yang bergaris tegas. “Gue bingung deh, Sher! Galeri itu udah nyaris runtuh. Satu-satunya yang bisa elo liat adalah kepulan debu dan lebih banyak debu!” sambung Ditsa, makin jengkel karena tidak kutanggapi.
Aku bukan orang bodoh yang mau menghabiskan waktuku di sebuah ruang tertutup penuh debu hanya untuk sesuatu yang sia-sia. Aku juga tidak pernah tertarik dengan seni rupa – tidak dulu maupun sekarang. Aku juga bukan tipe sahabat yang tertutup dan suka merahasiakan sesuatu. Tapi kali ini berbeda. ‘Dia’ membuatku rela berkutat berlama-lama di galeri yang nyaris runtuh. ‘Dia’ merubahku dari sahabat yang terbuka menjadi sahabat yang menyimpan rahasia. Karena ‘dia’. Demi ‘dia’. ‘Dia’.
‘Dia’ bukanlah seseorang yang cukup gagah ataupun tampan. ‘Dia’ hanyalah seseorang dari masa lalu – masa lalu dimana aku begitu banyak berhutang padanya, dan untuk membayar hutang itulah aku kembali ke kota ini.
‘Dia’ tinggal di sebuah galeri. Galeri tua warisan turun temurun keluarganya yang kini menjadi miliknya. Puluhan tahun sudah dia tinggal di galeri itu. Galeri itu sudah sangat tua. Dinding-dindingnya sudah tidak berwarna putih bersih lagi. Lukisan-lukisan yang ada di galeri itupun sudah banyak yang kusam dan berumur puluhan tahun. Tapi ‘dia’ begitu mencintai galerinya. Sekalipun aku sering menyuruhnya untuk pindah ke tempat tinggal yang lebih layak, ‘dia’ selalu acuh.
            “Elo ngapain sih Sher, tiap hari kesitu?” Tanya Ditsa membuyarkan lamunanku.


Satu tahun yang lalu…
Sudah satu tahun lebih aku menemani ‘dia’ dan tidak pernah kulewatkan sehari pun. Bila matahari sudah tepat berada diatas kepala, aku akan bergegas menemui ‘dia’. Aku akan menemani ‘dia’. Memastikan ‘dia’ tahu kalau ‘dia’ tidak sendiri. Memastikan bahwa tidak sedetik pun ‘dia’ merasa jauh dan kesepian.
‘Dia’ adalah seseorang yang memberiku sebuah perasaan berbeda. ‘Dia’ membuat aku rela melakukan apa yang bisa aku lakukan demi kebahagiaannya. Sekalipun ‘dia‘ mungkin tidak merasakan hal yang sama padaku. Sekalipun ‘dia’  mungkin tidak mengetahui aku ada disampingnya. Walaupun begitu aku berterimakasih padanya, karena dapat berada di sisinya setiap hari saja membuatku merasa cukup puas. Paling tidak aku bisa melihatnya. Paling tidak aku diizinkan untuk melihatnya.
Aku berdoa untuk ‘dia’ setiap malam. Aku berharap semua usaha yang sudah kami lakukan satu tahun ini, pada akhirnya akan terbayar. Aku mengharapkan sebuah kebahagiaan yang besar untuknya, karena kebahagiaannya adalah kebahagiaanku yang paling utama.
            “Hhhh…” ‘dia’ menghela nafas panjang sambil mengusap peluh yang ada di keningnya. Aku bisa menangkap kelelahan dan kemuakan dari wajahnya.
            “Sabar aja…Kamu udah ngelakuin yang terbaik dengan semua cara yang kamu bisa. Kamu udah ngorbanin semua yang kamu punya. Aku yakin aka nada imbalan untuk semua itu, dan yang mesti kamu lakuin sekarang adalah nunggu sampe imbalan kamu itu dating…” ujarku padanya.
‘Dia’ menoleh sekilas padaku dengan pandangan kosong, kemudian tanpa suara kembali melanjutkan pekerjaannya. Kanvas yang sudah penuh warna-warni itupun menjadi focus utamanya lagi. Dan aku? Aku hanya bisa memandanginya. Mempelajari lekuk-lekuk wajahnya yang penuh peluh dengan seksama. ‘Dia’ sekarang terlihat lebih kurus dan tanpa tenaga dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Sudah sering aku mengingatkannya untuk menjaga kesehatannya, tapi, sama seperti selama ini, ‘dia’ tidak bisa mendengarku. ‘Dia’ begitu sibuk membubuhkan berbagai macam warna di lukisan-lukisannya. Warna-warna yang mungkin akan mengabur dan berdebu seperti warna yang lainnya.
Aku mengalihkan pandanganku ke sudut lain ruangan ini. Ada sebuah jendela yang selalu terbuka di sisi kanan ruangan. Sebuah jendela yang berfungsi sebagai tempatku masuk setiap kali aku menengoknya. Sebuah jendela yang tidak cukup besar untuk mengenyahkan semua debu yang ada di galeri ini.
            “Kali ini, aku melukismu,”ucap ‘dia’ tiba-tiba. Menyadarkan pikiranku yang sedang melayang kemana-mana.
            “Yang bener? Apa kamu lagi nggak bercanda? Kenapa tiba-tiba melukisku?”sahutku senang namun tak percaya. Aku bergeser dari pojok tempatku berdiri dan mendekati kanvas yang sedang dilukisnya.
            “Sekarang lukisannya belum jadi,”katanya lebih kepada diri sendiri. ‘Dia’ menatap kanvas dihadapannya dengan pandangan kosong, kemudian mulai melukis lagi.
            “Nggak apa-apa. Aku akan nunggu sampe lukisannya jadi,”jawabku.





Setengah tahun yang lalu…
Debu di galeri ini makin banyak setiap hari, tapi tidak dengan perasaannya padaku. ‘Dia’ tidak berubah sedikitpun. Tetap tidak bicara sedikitpun padaku. Sementara aku begitu mencemaskannya, belakangan ini ‘dia’ semakin sering batuk, matanya pun semakin cekung dan sayu. Sudah puluhan kali aku mengingatkannya untuk pindah dari galeri yang berdebu ini, tapi ‘dia’ tidak pernah merespon. Ratusan kali aku meminta ‘dia’ untuk berobat ke dokter, tapi ‘dia’ tidak pernah mendengarkan. Sungguh aku tidak mengerti jalan pikirannya, bagaimana mungkin ‘dia’ begitu bersikeras? Mengapa ‘dia’ seolah begitu terikat dengan galeri ini? Mengapa ‘dia’ tidak mau mendengarkan perkataanku?
            “Uhuk!”terdengar lagi suara batuknya. Ini sudah yang ke sepuluh sejak kedatanganku siang ini.
            “Sebaiknya kamu istirahat aja,”aku menasehati.
‘Dia’ tercenung sejenak lalu bangun dari ranjang tempatnya berbaring. Dengan tertatih-tatih ‘dia’ berjalan ke depan kanvas.
            “Nggak perlu maksa menyelesaikan lukisanku kalo kamu belum sehat,”kataku. Namun, seperti biasa ‘dia’ tidak bisa mendengarku.
            “Uhuk!”batuknya untuk yang kesebelas kali.
            “Sudahlah… Kamu istirahat aja…”nasehatku untuk kesekian kalinya. Tapi alih-alih menurut, ‘di’a malah mengambil kuas dan memasang ancang-ancang untuk melukis.
            “Kamu ini keras kepala!”seruku kesal. ‘Dia’ terdiam. Ujung kuas yang hamper mendarat di kanvas, mengambang di tangannya. Tak sampai semenit kemudian, ‘dia’ meletakkan kembali kuasnya, tidak jadi menyelesaikan lukisan itu. Sejenak ‘dia’ menatapi lukisan setengah jadi di depannnya dengan pandangan yang absurd. Dipandanginya lekat-lekat sosok gadis berbaju putih didalam lukisan itu, kemudian… ‘dia’ menangis.
Aku tertegun sebentar. “Kenapa ngeliat lukisan itu kamu malah nangis? Apa wajahku sejelek itu?”candaku. tapi ‘dia’ tidak merespon. Tangisannya bahkan semakin kuat dan deras.
Aku kebingungan melihatnya menangis dan terbatuk-batuk secara bersamaan.
            “Aku sangat kehilangan kamu…”katanya di sela-sela tangisnya.
            “Hah?!”Aku terkejut. Benarkah? Benarkah dia merasa kehilanganku?
            “Aku sungguh menyesal atas semuanya…”sambungnya masih sambil terisak.
            “Nggak perlu ngerasa kehilangan. Sekarang aku sudah kembali. Aku ada disini lagi. Nggak ada yang perlu disesali,”jawabku sambil menggosok-gosok punggungnya, berusaha meredakan tangisnya. Kemudian hening menguasai. ‘Dia’ sibuk dengan pikirannya, sementara aku sibuk menenagkan ‘dia’ dari tangisnya.
            “Selamat siang!”tiba-tiba terdengar seruan seorang pria berkemeja dari depan pintu galeri. Siapa itu? – pikirku.
Pria berkemeja itu merapikan lekuk bajunya, kemudian melangkah masuk ke dalam galeri. Ia berkeliling melihat-lihat sebelum akhirnya berhenti di hadapanku dan menatap lukisan diriku yang masih setengah jadi.
            “Apa aku bilang! Kamu mesti sabar, kan! Tuh! Bayaran kesabaranmu dateng!”aku meloncat kegirangan. Akhirnya… setelah sekian lama galeri ini tidak berpengunjung, ada juga orang yang dating.
            “Pak Reza Lesmana?”Tanya pria berkemeja itu pada ‘dia’. ‘Dia’ menghapus airmatanya sedikit, kemudian mengangguk.
            “Saya Andre, utusan dari bank CAB”. Jawab pria berkemeja itu lagi.
Aku tersentak.

Kemarin…
Siang itu aku mematung di pojok galeri.
Hari ini galeri milik ‘dia’ ramai, banyak orang yang berdatangan. Cita-citaku dan ‘dia’ akhirnya terwujud. Lukisan-lukisan di galeri ini dilihat banyak orang. Tapi bukannya senang, aku malah tenggelam dalam sedih yang dalam. Sedih yang sungguh amat dalam, sampai-sampai aku tak bisa bergerak dari pojok tempatku berdiri sekalipun untuk menatap wajah ‘dia’.
Kuperhatikan satu-satu orang-orang yang berlalu lalang di hadapanku. Tidak banyak dari orang itu yang mengenal ‘dia’. Mereka hanya datang karena rasa simbolisme yang mengalir kental di darah mereka. Beberapa diantaranya, hanya datang untuk bergunjing.
            “Kasihan banget pak Reza itu,”kata seorang wanita sambil menunjuk ‘dia’ – yang hari ini mengenakan pakaian berwarna putih, sama sepertiku.
            “Kenapa kok kasihan?”timpal lawan bicaranya.
            “Enam bulan yang lalu kan galeri ini hamper disita bank. Tapi untung pak Reza masih dikasih waktu buat ngeberesin barang-barang dan lukisan-lukisannya,”desis si wanita. “Pak Reza ini udah nggak punya apa-apa. Istrinya meninggal beberapa menit setelah nglahirin anak ceweknya. Satu persatu warisan keluarganya dijual buat ngebiayain hidup dia -  yang notabene adalah pelukis nggak jelas. Harta dia satu-satunya tinggal galeri ini dan anak ceweknya yang calon dokter itu,”sambung wanita itu sambil memelankan suaranya.
            “Lalu?”kejar si lawan bicara yang makin penasaran.
            “Yaa gitu… Galeri ini digadai ke bank buat masukin anaknya kuliah,”jawab si wanita.
            “Terus anak ceweknya itu sekarang ada dimana?’
            “Oh… Beberapa tahun yang lalu Shera meninggal dalam kecelakaan bus,”jawab wanita itu, kali ini dengan nadanya sedikit simpatik.
            “Shera? Nama anak ceweknya Shera?”Tanya si lawan bicara yang kemudian dijawab si wanita itu dengan satu anggukan.
            “Jangan-jangan, Shera itu cewek yang ada di lukisan ini?”si lawan bicara menunjuk sosok gadis berbaju putih pada sebuah lukisan yang diletakkan disisi jenazah ‘dia’. Lukisan itu diberi judul ‘Shera’, nama anak si pelukis.
            “Ya. Nggak salah lagi. Itu emang gambar anak gadisnya yang udah meninggal,”jawab si wanita.
***
Ayah, “The future depends on what  we do in the present”, ucapan Mahatma Gandhi itu selalu saja kau katakan padaku setiap hari. “Bila ingin mendapat kebahagiaan di masa depan, maka harus mengusahakan yang terbaik di masa sekarang,”katamu. Dan aku mempercayaimu Ayah. Aku menerapkan prinsipmu itu sebagai prinsipku. Aku melakukan semua yang aku bisa untuk kebahagiaanku dan kebahagiaanmu.
Bahkan saat seharusnya aku tidak kembali ke galeri kita, aku memaksa kembali, Ayah. Tapi kenapa semuanya sia-sia? Kenapa setelah semua yang kita usahakan, yang kita korbankan, dan setelah semua kesulitan yang harus kita bayar diawal, hasilnya tetap begini. Bukankah kita sudah mengusahakan hal-hal yang bisa kita usahakan untuk membuat masa depan kita secerah mungkin? Lalu kenapa tidak ada satupun yang terbayarkan? Apakah Tuhan memberi pengecualian pada orang-orang seperti kita? Apakah sekalipun aku kembali, aku tidak bisa membayar hutangku? Apakah sejauh apapun aku mengayuh mundur, aku tidak bisa menentang waktu? Apakah suatu hari, kau akan tahu bahwa aku sempat disana, di antara debu-debu dan warna-warna yang memudar?
Tapi ‘dia’ hanya diam tak menjawab.

0 comments:

Post a Comment